Senin, 16 Juli 2007

PENDAPAT LAIN TENTANG G30S/PKI

Berikut tulisan seseorang yang berhasil kami dapat secara tidak sengaja melalui internet, namun sayang sekali tulisan yang katanya terdiri dari 2 bagian ini tidak kami temukan bagian ke 2 tersebut, namun membaca tulisan bag pertama saja sudah terlihat bahwa peristiwa ini penuh dengan kontroversi, siapa yang benar sebenarnya ? wallahualam, anggap saja ini sebagai bagian dari pelajaran kalian disekolah khususnya Sejarah (M. SAHLAN ATTAZKIYAH)
Berikut Penuturannya :

G30S/SOEHARTO, BUKAN G3OS/PKI (Bagian 1/2)
Oleh: Sulangkang Suwalu
Sudah hampir 2 bulan Soeharto dipaksa berhenti sebagai presiden oleh kekuatan mahasiswa dan rakyat. Dengan demikian gagallah rencananya untuk terus menjadi Presiden sampai dengan 2003. Sementara itu 21/2 bulan lagi adalah hari genapnya 33 tahun meletusnya G30S.
Ki Oetomo Darmadi (Swadesi, No 1541/Th XXX/Juli 1998) mengemukakan, "Sudah 33 tahun tragedi nasional, apa yang disebut G30S menjadi ganjalan sejarah. Sudah seyogianya di era reformasi sekarang misteri tersebut disingkap secara transparan, jujur terbuka".
"Mengapa, ini penting sebagai pelajaran sejarah, betapa dahsyatnya akibat-akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Antara lain bangsa ini terbelah menjadi dua: Orde Lama dan Orde Baru, dengan implikasi luas pada sektor kehidupan sosial, politik, ekonomi dan pertahanan keamanan. Terlebih-lebih jika ditilik dari hak dasar azasi manusia (HAM) hampir seluruh Deklarasi HAM PBB (10 Des 1948) dilanggar. Pancasila hanya dijadikan lips-service, dan hampir semua hak warga sipil yang termaktub dalam batang tubuh UUD 45 dinodai. Terlalu banyak lembar catatan keganasan rezim Soeharto selama 32 tahun berkuasa, sehingga ada yang menjuluki 'drakula', pembunuh berdarah dingin den sebagainya. Tidak mengherankan jika Indonesia ditempatkan sebagai pelanggar HAM terberat, sebab korban penubunuhan massal peristiwa G.30-S/PKI 1965 saja melampaui korban Perang Dunia II."
Sesungguhnya sudah lama dituntut supaya misteri G30S yang sesungguhnya diungkap secara terbuka, jujur dan adil. Hanya saJa tuntutan semacam itu di masa Soeharto berkuasa suatu yang mustahil bisa dilaksanakan. Sebab dengan membuka misterinya, akan terbuka lah bahwa G3OS yang sesungguhnya ialah G30S/Soeharto, bukan G30S/PKI. Mari kita telusuri!
HUBUNGAN SOEHARTO DENGAN G30S
Hubungan Soeharto, terutama dengan Kolonel Latief, seorang tokoh G3OS, begitu akrab dan mesranya. Lepas dari persoalan apakah hubungan yang erat itu karena Soeharto yang menjadi bagian atau pimpinan G30S yang tersembunyi, atau karena kelihaian Soeharto memanfaatkan tokoh-tokoh G30S untuk mencapai tujuannya menjadi orang pertama di Indonesia.
Hubungannya itu dapat diketahui, ketika pada 28 September 1965, Kolonel Latief bersama isterinya berkunjung ke rumah Jenderal Soeharto di jalan H. Agus Salim. Menurut Kolonel Latief (Kolonel Latief: "Pembelaan sidang Mahmilti II Jawa Bagian Barat" 1978) maksud kunjungannya ialah guna menanyakan adanya info Dewan Jenderal, sekaligus melaporkan kepada beliau. "Oleh beliau justru memberitahukan kepada saya, bahwa sehari sebelum saya datang, ada seorang bekas anak buahnya berasal dari Yogyakarta, bernama Soebagiyo, memberitahukan tentang adanya info Dewan Jenderal AD yang akan mengadakan coup d'etat terhadap kekuasaan pemerintahan Presiden Soekarno. Tanggapan beliau akan diadakan penyelidikan".
Seterusnya Kolonel Latief mengemukakan bahwa 30 September 1965 (malam), ia berkunjung ke RSPAD untuk menjumpai Jenderal Soeharto, yang sedang menunggui putranya yang tersiram sup panas. Sambil menjenguk putrandanya itu, juga untuk melaporkan bahwa dini hari l Oktober l965 G30S akan melancarkan operasinya guna menggagalkan rencana kudeta yang hendak dijalankan Dewan Jenderal. Kunjungannya ke Jenderal Soeharto di RSPAD tersebut, adalah merupakan hasil kesepakatan dengan Kolonel Untung dan Brigjen Supardjo.
Seperti diketahui menurut Brigjen Supardjo (Tempo, 1 Oktober 1988) tanggal 16 September 1965 telah terbentuk gerakan tsb, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung. Kolonel Latief semula berkeberatan Letkol Untung menjadi pimpinannya dan meminta supaya gerakan dipimpin seorang jenderal. Tetapi karena Kamaruzzaman (Syam) memtahankan supaya tetap Untung, karena ia pengawal presiden, maka akhirnya Letnan Kolonel Untung yang memimpinnya.
Kamaruzzaman ini menurut Wertheim (Wertheim: "Sejarah tahun 1965 yang tersembunyi" dalam Suplemen Arah, No 1 th 1990) adalah "seorang double agent". Yang dimaksud "double agent" Wertheim ialah agennya Aidit (dalam Biro Khusus) dan agen Soeharto (yang diuntungkan oleh Peristiwa G30S).
Sesungguhnya G30S tak akan bisa melancarkan operasi militernya dini hari l Oktober 1965 itu, sekiranya Jenderal Soeharto mencegahnya dan bukan membiarkannya. Tampaknya karena Soeharto berkepentingan agar Men/Pangad A. Yani terbunuh, maka dengan diam-diam direstuinya operasi militer G30S yang hendak dilancarkan itu. Jika Soeharto tidak berkepentingan terbunuhnya A. Yani, tentu rencana operasi G30S itu akan dicegahnya, atau langsung saja Kolonel Latief ditangkapnya, atau rencana G30S itu dilaporkannya kepada atasannya, misalnya kepada Jenderal Nasution. Dengan demikian operasi G30S itu gagal.
Bagi Kolonel Latief dengan tidak ada pencegahan dari Jenderal Soeharto, berarti Jenderal Soeharto merestuinya dan operasi G30S dini hari l Oktober dilaksanakannya.
Soeharto merestui operasi G30S itu secara diam-diam, karena ia mengetahui ada sebuah konsensus dalam TNI-AD bahwa bila Pangad berhalangan, otomatis Panglima Kostrad yang menjadi penggantinya. Dan Panglima Kostrad ketika itu adalah dirinya sendiri.
MALING BERTERIAK MALING
Paginya (pukul 6.30), dengan dalih ia mendapat informasi dari tetangganya, Mashuri, bahwa Jendral A. Yani dan beberapa jenderal lain telah terbunuh, Soeharto dengan Toyotanya, sendirian (tanpa pengawal) berahgkat ke Kostrad. Melalui Kebun Sirih, Merdeka Selatan. Soeharto sudah tahu benar siapa sasaran G30S.
Sejalan dengan laporan yang disampaikan Kolonel Latief kepada Jenderal Soeharto di RSPAD malam itu, maka daerah, dimana markas Kostrad terletak, tidak diawasi atau dijaga pasukan G30S. Yang dijaga hanya daerah lain saja di Merdeka Selatan. Ini menjadi indikasi adanya saling pengertian antara G30S dengan Panglima Kostrad. Jika tidak ada saling pengertian, tentu daerah di mana Markas Kostrad berada juga akan dijaga pasukan G30S.
Menurut Yoga Sugama (Yoga Sugama: "Memori Jenderal Yoga" [hal: 148-153]) pada pagi 1 Oktober 1965 itu, dirinyalah yang pertama tiba di Kostrad. Kepada Ali Murtopo, Yoga Sugama memastikan bahwa yang melancarkan gerakan penculikan dini hari tersebut, adalah anasir-anasir PKI. Ali Murtopo tidak begitu saja mau menerima keterangan Yoga Sugama tersebut.
Setelah ada siaran RRI pukul 7.20, yang mengatakan telah terbentuk Dewan Revolusi yang diketuai Kolonel Untung, maka Yoga Sugama memperkuat kesimpulannya di atas. Sebab Yoga Sugama kenal Untung sebagai salah seorang perwira TNI-AD yang berhaluan kiri. Untung pernah menjadi anak buahnya ketika RTP II bertugas menumpas PRRI di Sumatera Barat.
Jenderal Soeharto juga bertanya kepada Yoga Sugama, "Apa kira-kira Presiden Soekarno terlibat dalam gerakan ini." Yoga Sugama dengan tegas menjawab "Ya". Tuduhan Yoga Sugama bahwa dibelakang gerakan itu adalah anasir-anasir PKI dan Presiden Soekarno terlibat, tentu saja sangat membesarkan hati Soeharto. Karena dengan demikian rencananya untuk menghancurkan PKI dan menggulingkan Presiden Soekarno mendapat dukungan dari bawahannya.
Pada pukul jam 9.00 pagi itu Jenderal Soeharto (Tempo, 1 Oktober 1998) memberikan briefing. Dengan tegas ia mengatakan: "Saya banyak mengenal Untung sejak dulu. Dan Untung sendiri sejak 1945 merupakan anak didik tokoh PKI Pak Alimin". Ini tentu bualan Soeharto saja. Sebab Pak Alimin baru kembali ke Indonesia pertengahan tahun 1946. Bagaimana ia mendidik Untung sejak tahun 1945, padahal ketika itu Pak Alimin masih berada di daratan Tiongkok.
Tidak lah kebetulan Kamaruzzaman mempertahankan Kolonel Untung menjadi pimpinan G30S. Sudah diperhitungkannya, bahwa suatu ketika nama Untung tsb akan dapat digunakan sebagai senjata oleh Soeharto untuk menghancurkan PKI. Kamaruzzaman memang seorang misterius. Secara formal dia adalah orangnya Aidit (dalam BC). Sedang sesungguhnya dia adalah di pihak lawannya Aidit, dia bertugas menghancurkan PKI dari dalam.
Untuk itu lah maka Kamaruzzaman, seperti dikatakan Manai Sophian (Manai Sophiaan ("Kehormatan bagi yang berhak") membuat ketentuan bahwa persoalan yang akan disampaikan kepada Aidit, harus melalui dirinya. Banyak hal yang penting yang tak disampaikannya pada Aidit. Akibatnya setelah gerakan dimulai terjadilah kesimpangsiuran, penyimpangan yang merugikan Aidit/PKI.
Sesuai dengan rencananya, maka Soeharto (G.30-S pemberontakan PKI", Sekneg, 1994, hal 146, 47) pada 1 Oktober tersebut tanpa sepengetahuan, apalagi seizin Presiden/Pangti Soekarno mengangkat dirinya menjadi pimpinan TNI-AD. Padahal jabatan Panglima suatu angkatan, adalah jabatan politik. Itu merupakan hak prerogatif Presiden untuk menentukan siapa orangnya.
Dikesampingkannya hak prerogatif Presiden/Pangti ABRI tersebut, diakui Soeharto dalam 4 petunjuk kepada Presiden Soekarno yang harus disampaikan oleh Kolonel KKO Bambang Widjanarko yang berkunjung ke Kostrad 1 Oktober 1965 itu. Kedatangan Bambang Widjanarko adalah untuk memanggil Jenderal Pranoto Reksosamudro yang telah diangkat menjadi caretaker Menpangad sementara oleh Presiden, untuk datang ke Halim menemui Presiden Soekarno. Usaha Bambang Widjanarko untuk meminta Jenderal Pranoto Reksosamudro ke Halim itu dihalangi Soeharto. Empat petunjuk tersebut ialah:
1. Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro dan Mayjen TNI Umar Wirahadikusumah tidak dapat menghadap Presiden Soekarno untuk tidak menambah korban. (Ini berarti Soeharto menuduh Presiden Soekarno lah yang bertanggungjawab atas penculikan sejumlah jenderal dini hari 1 Oktober tersebut. Sesuai dengan jawaban Yoga Sugama kepadanya tentang keterlibatan Presiden Soekarno dalam G30S. Karena Ketua Dewan Revolusi adalah Kolonel Untung, pasukan pengawal Presiden Soekarno)
2. Mayjen TNI Soeharto untuk sementara telah mengambil oper pimpinan TNI-AD berdasarkan perintah Tetap Men/Pangad. (Ini berarti perintah tetap Men/Pangad, maksudnya konsensus dalam TNI-AD lebih tinggi dari hak prerogatif presiden dalam menentukan siapa yang harus memangku jabatan panglima suatu angkatan).
3. Diharapkan agar perintah-perintah Presiden Soekarno selanjutnya disampaikan melalui Mayjen TNI Soeharto. (Ini berarti Mayien TNI Soeharto yang mengatur Presiden Soekarno untuk berbuat ini atau itu, meski pun dibungkus dengan kata-kata "diharapkan". Semestinya Presiden yang mengatur Mayjen Soeharto, bukan sebaliknya. Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI).
4. Mayjen TNI Soeharto memberi petunjuk kepada Kolonel KKO Bambang Widjanarko agar berusaha membawa Presiden Soekarno keluar dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah, karena pasukan yang berada di bawah komando Kostrad akan membersihkan pasukan-pasukan pendukung G3OS yang berada di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah sebelum tengah malam 1 Oktober 1965. (Ini berarti Soeharto "memerintahkan" Soekarno meninggalkan Pangkalan Udara HPK, karena Halim akan diserbu. Padahal sebelumnya Presiden Soekarno telah memerintahkan kepada Brigjen Supardjo supaya menghentikan operasi militer G30S dan jangan bergerak tanpa perintahnya. Tampaknya perintah lisan Presiden/Pangti Soekarno demikian, dianggap tidak berlaku bagi dirinya. Malahan situasi itu digunakannya untuk "memukul" pasukan G30S.
Empat petunjuk Mayjen Soeharto kepada Presiden Soekarno melalui Kolonel KKO Bambang Widjanarko menunjukkan: dengan menggunakan G30S, Jenderal Soeharto mulai l Oktober 1965 secara de facto menjadi penguasa di Indonesia. Sebagai langkah awal untuk memegang kekuasaan de jure di Indonesia nantinya. Ya, maling berteriak maling. Dirinya yang kudeta, PKI yang dituduhnya melakukan pemberontakan.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

T,T aduh bahasannya masih terlalu membingungkan buat saia =,=