Senin, 16 Juli 2007

G 30 S PKI (PENELUSURAN SEJARAH)




Berikut ini adalah ulasan mengenai Penghianatan G 30 S/PKI, yang menyedihkan dari peristiwa ini adalah banyak pihak yang masih meragukan keabsahan peristiwa tersebut, namun dibalik banyaknya kontroversi mengenai sejarah PKI ini berikut kami tampilakan sekilas mengenai peristiwa tersebut sebagai bahan renungan kita dimasa yang akan datang, bahwa bangsa kita pernah mengalami masa-masa sulit pada zaman orde lama yang hingga saat ini masih dipertentangkan, ulasan ini sendiri bukanlah berasal dari pihak pemerintah semata namun dari pihak lain, benar atau tidaknya anggap saja ini sebagai bahan pelajaran sejarah di sekolah kalian (Pengantar : M, SAHLAN ATTAZKIYAH)




PKI merupakan partai Stalinis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Sovyet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

Angkatan kelima

Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965
PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezim Demokrasi Terpimpin dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk "Angkatan Kelima" dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau semua pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur lain, termasuk angkatan bersenjata.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".

Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".
Rejim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.

Peristiwa

Sumur Lubang Buaya
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.

Korban
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani,
Mayjen TNI R. Suprapto
Mayjen TNI M.T. Haryono
Mayjen TNI Siswondo Parman
Brigjen TNI DI Panjaitan
Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target namun dia selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Lettu Pierre Tandean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
AIP Karel Satsuit Tubun
Brigjen Katamso Darmokusumo
Kolonel Sugiono
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

Pasca kejadian

Pemakaman para pahlawan revolusi
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."

Supersemar
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.


Penangkapan dan pembunuhan

Penangkapan Simpatisan PKI
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara lainnya 2.000.000 orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan melakukan pembunuhan-pembunuhan massa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan puluhan ribu dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk beberapa dozen sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

Peringatan

Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam par apahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, Sasmaja, dan Putmainah.

Kontroversi
Beberapa informasi dalam artikel atau bagian ini belum dipastikan dan mungkin isinya tidak benar.Tolong diperiksa, dan lakukan modifikasi serta tambahkan sumber pada bagian yang diperlukan.
Peristiwa ini sampai sekarang masih diliputi banyak misteri. Banyak pertanyaan yang tertinggal, misalnya dugaan bahwa pemberontakan ini mungkin sengaja diciptakan Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno. Juga, ada teori bahwa Soekarno yang melancarkan pembunuhan karena ingin agar kekuasaannya dapat terus berlangsung dan tidak diancam oleh para jenderal angkatan darat.

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Salut untuk Fitria Amanda karena perhatian dan ketertarikanya pada sejarah. Namun setelah membaca apa yang anda tulis,saya merasakan atmosfer yang berbeda dengan "tekanan" yang seolah-olah memposisikan PKI sebagai pihak yang "dizalimi" oleh seluruh elemen bangsa pada saat itu dan pada masa-masa berikutnya. Mbak Fitri, sejarah berdiri pada tiga pilar utama yakni : Sumber, bukti dan fakta sejarah yang valid, yang terpercaya,dan semua itu diperoleh dari suatu proses penelusuran sumber sejarah(heuristik),pemeriksaan kebenaran sumber, bukti dan fakta sejarah melalui Chek and Choroboration dengan sumber, bukti dan fakta sejarah yang lain (Verifikasi/kritik sumber),dan proses interpretasi sejarah berdasarkan tiga hal tad, dalamtahap interpretasi inilah subyektifitas penulis sangat berpengaruh terhadap "rasa" dari tulisan yang dibuat.
Mbak Fitri, sejarah adalah sebuah mata rantai,artinya ia tidak bisa berdiri sendiri, karena satu peristiwa akan mengakibatkan peristiwa yang lain, ya... dalam sejarah ada kausalitas.
Perristiwa G 30S/PKI harus kita lihat dalam skala yang lebih besar, meliputi peristiwa-peristiwa sebelumnya, pandangan zaman itu, atmosfer politik masa itu dan kondisi psikis rakyat ketikaperistiwa itu terjadi,yang yang paling penting kita harus melihat ini dari sudut pandang yang multi dimensi. Apa dan bagaimana PKI itu? (untuk ini coba lihat AD/ART PKI yang diterbitkan oleh CC PKI tahun 1962, tulisan-tulisan Aidit antara lain :jalan ke demokrasi rakyat bagi Indonesia, PKI menggayang setan-setan desa, ABC revolusi dan masih banyak lagi yang nantinya akan anda peroleh satu gambaran yang terang mengenai, apa, bagaimana dan kemana tujuan PKI)
juga akan lebih bagus lagi kalau anda membaca kritik dan otokritik Sudisman, pengakuan tokoh-tokoh PKI dalam persidangan MAHMILUB, koran-koran sejaman antara 1955 sampai 1968,serta sumber literatur buku sejarah yang lain seperti :Kaum Merah Menjarah aksi sepihak BTI di jatim tahun 1950an, peristiwa bandar besty, siapa menabur angin akan menuai badai, lubang-lubang pembantaian PKI di Madiun,peristiwa kanigoro kediri, mendung diatas istana merdeka,menyingkap kabut halim,fakta adanya lakon ludruk yang dimainkan seniman-seniman LEKRA yang berjudul "matine gusti allah", "malaikat jibril mantu" dan masih sangat berlimpah sumber-sumber sejarah yang lain yang kesemuanya mungkin akan menyempurnakan tulisan anda.maaf kalau saya sok pintar, ini hanya apa yangsaya ketahuii dan itu sangatlah kecil.semoga bermanfaat.

Unknown mengatakan...

Salut untuk Fitria Amanda karena perhatian dan ketertarikanya pada sejarah. Namun setelah membaca apa yang anda tulis,saya merasakan atmosfer yang berbeda dengan "tekanan" yang seolah-olah memposisikan PKI sebagai pihak yang "dizalimi" oleh seluruh elemen bangsa pada saat itu dan pada masa-masa berikutnya. Mbak Fitri, sejarah berdiri pada tiga pilar utama yakni : Sumber, bukti dan fakta sejarah yang valid, yang terpercaya,dan semua itu diperoleh dari suatu proses penelusuran sumber sejarah(heuristik),pemeriksaan kebenaran sumber, bukti dan fakta sejarah melalui Chek and Choroboration dengan sumber, bukti dan fakta sejarah yang lain (Verifikasi/kritik sumber),dan proses interpretasi sejarah berdasarkan tiga hal tad, dalamtahap interpretasi inilah subyektifitas penulis sangat berpengaruh terhadap "rasa" dari tulisan yang dibuat.
Mbak Fitri, sejarah adalah sebuah mata rantai,artinya ia tidak bisa berdiri sendiri, karena satu peristiwa akan mengakibatkan peristiwa yang lain, ya... dalam sejarah ada kausalitas.
Perristiwa G 30S/PKI harus kita lihat dalam skala yang lebih besar, meliputi peristiwa-peristiwa sebelumnya, pandangan zaman itu, atmosfer politik masa itu dan kondisi psikis rakyat ketikaperistiwa itu terjadi,yang yang paling penting kita harus melihat ini dari sudut pandang yang multi dimensi. Apa dan bagaimana PKI itu? (untuk ini coba lihat AD/ART PKI yang diterbitkan oleh CC PKI tahun 1962, tulisan-tulisan Aidit antara lain :jalan ke demokrasi rakyat bagi Indonesia, PKI menggayang setan-setan desa, ABC revolusi dan masih banyak lagi yang nantinya akan anda peroleh satu gambaran yang terang mengenai, apa, bagaimana dan kemana tujuan PKI)
juga akan lebih bagus lagi kalau anda membaca kritik dan otokritik Sudisman, pengakuan tokoh-tokoh PKI dalam persidangan MAHMILUB, koran-koran sejaman antara 1955 sampai 1968,serta sumber literatur buku sejarah yang lain seperti :Kaum Merah Menjarah aksi sepihak BTI di jatim tahun 1950an, peristiwa bandar besty, siapa menabur angin akan menuai badai, lubang-lubang pembantaian PKI di Madiun,peristiwa kanigoro kediri, mendung diatas istana merdeka,menyingkap kabut halim,fakta adanya lakon ludruk yang dimainkan seniman-seniman LEKRA yang berjudul "matine gusti allah", "malaikat jibril mantu" dan masih sangat berlimpah sumber-sumber sejarah yang lain yang kesemuanya mungkin akan menyempurnakan tulisan anda.maaf kalau saya sok pintar, ini hanya apa yangsaya ketahuii dan itu sangatlah kecil.semoga bermanfaat.

Agen Bola Promo 100% SBOBET IBCBET Casino Poker Tangkas Online mengatakan...

Agen Bola Promo 100% SBOBET IBCBET Casino Poker Tangkas Online